Untuk merayakan Hari Autis Se-Dunia, yang jatuh pada hari ini, saya khusus memosting artikel soal Autisme.
Kali ini, yang akan berbagi cerita dan pengalamannya di adiitoo.com adalah Dunya Mugijanto, ibu dari seorang anak penyandang Autisme bernama Rayen.
Berikut ceritanya…
Kali ini Dunya ingin menceritakan bagaimana suka dukanya ia mengurus anaknya yang sangat spesial di matanya. Dengan segala kerendahan hatinya, ia menerima dengan lapang dada apa yang Tuhan berikan kepadanya.
Antara Cinta, Harapan, dan Kenyataan.
Rayen, mama dan ayah masih menunggu Rayen bisa spontan bilang Rayen ‘sayang mama, ayah dan adik Lila’. In sya Allah ya kak …
Rayendra Zeshan Mugijanto (Rayen), anak sulung kami lahir di RS Medistra Jakarta pada tanggal 13 Oktober 2002 pada jam 23:50pm. Proses kelahiran Rayen cukup mendebarkan dikarenakan setelah proses persalinan yang lama, dokter akhirnya memutuskan untuk melakukan tindakan darurat dengan operasi Caesar. Allhamdulilah operasi berjalan baik dan akhirnya kami sangat berbahagia selayaknya keluarga normal yang di anugerahkan seorang bayi laki2 yang sempurna (Apgar test 9,5 dari 10) setelah menunggu selama 2 tahun.
Pada proses perkembangannya, Rayen mengalami beberapa keterlambatan perkembangan seperti :
- Pada saat usia 6 Bulan, untuk pertama kali kami membawa Rayen ke dokter rehabilitasi medik dikarenakan mengalami keterlambatan perkembangan yaitu keterlambatan untuk duduk sendiri.
- Pada usia 12 bulan untuk pertama kali kami membawa Rayen ke klinik tumbuh kemang, konsul dengan psikolog anak karena keterlambatan bicara dan adanya prilaku yang “aneh” yaitu mengepak ngepakkan ke 2 tangannya apabila sedang tertarik atau excited pada suatu benda yang bergerak, spt mainan anak yg bergerak dng baterei, atau pada saat nonton film kartun, tidak ada kontak mata.
- Pada usia 20 bulan kami konsul dng dokter syaraf anak di Singapore utk memeriksakan kondisi Rayen tsb yang tidak mengalami perubahan. Kebetulan kami memilih membawa ke Singapore krn dokter2 di Jakarta yg kebetulan direkomendasikan kepada kami memiliki daftar tunggu yg berbulan2. Disini akhirnya kami mendapatkan diagnosa bhw Rayen memiliki bberapa ciri dari seorg anak penderita Autis. Diagnosa dinyatakan secara lisan.
- Dengan ini kami mulai datangi dokter2 terbaik , mulai dari dokter syaraf anak, psikiater anak, dokter rehabilitasi medik anak di jakarta, tentunya mencari pendapat lain (second opinion), berharap perubahan2 baik itu perkembangan Rayen, diagnosa dokter, obat2an, ataupun terapi yg bisa kami lakukan umtuk “Kesembuhan” total dari Rayen.
- Mulai cari2 info berbagai macam terapi yg ditawarkan para dokter. Ada terapi prilaku (ABA), terapi Okupasi, Terapi sensori integrasi, Terapi Wicara. Penerapan diet, pengobatan biomedis. Belum lagi masukan dari orang tua lain yg mungkin sudah melalui perjalanan yg cukup panjang, seperti mencoba pengobatan alternatif Homepathy, kegiatan Braingym, dan masih banyak lagi.
- Juga yang belum disebutkan adalah hasil coba-coba dari membaca berbagai buku penanganan, pengobatan, semua tentang autism yang kami baca dan usahakan diterapkan untuk Rayen.
Bertemu banyak orang, ahli, dan sebagainya membuat kami, orang tua Rayen, kewalahan dengan semua info baru yang harus kami serap, mengerti, paham, menerima, usahakan, lakukan terus2 menerus untuk Rayen juga tentunya berpengaruh pada kehidupan kami sebagai orang tua muda yang baru punya momongan spt yang diidam2kan selayaknya pasangan muda lainnya, juga sebagai pasangan suami istri baru saja memulai kehidupan berumah tangga. Masih dalam tahap penyesuaian dalan kehidupan kami berdua, usaha pemantapan karir ayah Rayen, sudah ditambah kondisi special Rayen, padahal kami baru belajar menjadi pasangan org tua dengan kelahiran seorg anak, yang ternyata adalah titipan Allah SWT yang sangat special.
Sebagai pasangan kami melalui semua proses yang lazim dilalui, dari mulai shock, nangis meraung2 sambil bertanya kenapa saya, kasihan Rayen, denial, menunggu keajaiban, diam sampai pasrah menerima dan mulai melangkah maju, mencari teman2 seperjuangan, menjalani proses terapi, semua kami lalui tapi bukan tidak pakai ‘berdarah-darah’ seperti bahasa gaul anak sekarang. Ini proses yang dilalui seluruh keluarga besar kami berdua, dan Alhamdulillah ke2 pasang eyang semuanya menerima Rayen dengan segala keunikannya dan tidak pernah berhenti mendukung, menghibur kami jika kami seperti sudah tidak bisa bernafas dlm perjuangan kami untuk Rayen.

Dunya dan Keluarga Besar
Dalam perjalanan kami memberikan pendidikan, terapi dan ‘Pengobatan’ yang tepat, sudah pasti perjalanan dng lika liku yg panjang. Tidak mudah mencari guru dan terapis yang tepat, jenis terapi yang tepat, sekolah yang tepat, semua yang tepat, cocok dan langsung berbuah manis seperti harapan kami utk kesembuhan total putra kami.
Pindah dari pusat terapi satu ke yang satu lagi itu juga kami lakukan. Coba-coba jenis terapi dari yang konvensional ke yang mutakhir pada masanya juga sudah kami jalani. Dan satu hal yang kami pelajari bahwa tiap pakar punya terapi favorit yg mereka kuasai. Jadi dengan ganti2 dokter sudah pasti akan ganti pusat terapi atau terapis, bahkan bisa juga ganti jenis terapi.
Awalnya kami mulai dengan terapi okupasi dan wicara, Rayen masih belum 2 tahun. Setiap terapi ngamuk, nangis meraung-raung, tidak bisa dipegang, stimmimg. Karena terapis wicara kewalahan dalam menangani Rayen, diputuskan utk konsentrasi pada terapi okupasi saja, dengan harapan Rayen dapat menangani semua input yg dia terima. Pelan2 bisa, dan cukup menikmati kegiatan fisik dr terapi okupasi. Terapi wicara dicoba lagi, tapi tetap Rayen belum bisa berkata2. Hanya mamamama (babbling) saja yang mampu dia suarakan.
Waktu itu belum diterapkan terapi perilaku (ABA), karena kebetulan dokter2 yang kami pakai, tidak ada yang merekomendasikan terapi ini, dan kebetulan juga orang tua2 yg kami kenal tidak ada yang memakai terapi ABA. Ada komentar bahwa terapi ABA banyak dibentak2, suara keras, hukuman dll. Dan kami liat sendiri di sebuah seminar, ada seoarang anak menangis sewaktu menunggu giliran manggung, oleh pengasuh atau mungkin terapisnya dibentak2 supaya diam dari tangisannya, kebetulan pada saat itu acara belum dimulai, tapi tamu2 sudah ada yang duduk diruangan. Suara orang itu bergema di ruang seminar. Dalam hati, kami tidak mau anak kami dipermalukan begitu, apa lagi kami org tuanya. Jadi boleh dikatakan ada trauma dengan terapi ABA.
Karena Rayen masih sangat kecil, kami berdua keberatan jika anak kami dibentak2 orang lain, kami saja tidak pernah bentak2. Tapi dari beberapa nara sumber dr beberapa seminar yanga kami ikuti, disarankan utk menjalani terapi prilaku. Akhirnya kami coba juga terapi ABA dan mendapatkan diagnosa tertulis dari sebuah test yg dijalani Rayen di satu pusat terapi. Baiknya lagi mereka tidak menggunakan sistem disiplin yang sangat keras. Mereka meyakinkan kami bahwa tidak akan ada membentak2 anak. Sejalan dengan waktu, dan melihat perkembangan Rayen yg mandek, akhirnya membuat kami berdua mencari-cari lagi info, tempat terapi baru dan pengalaman orangtua lain.
Tiba-tiba Rayen sudah berusia 5 tahun dengan kemampuan yang sangat minim, dan boleh dikatakan nol utk kemampuan komunikasi karena masih menggunakan tangan atau gesture utk memberi tahu keinginannya, masih pakai pampers, makan masih susah diajari utk mandiri, apalagi pegang pinsil. Stimming masih tinggi terutama jika main dengan multi media dan hiperaktif. Walau demikian diumur ini, rayen sudah bisa berenang dan les teratur setiap minggu, Rayen sangat menyukai aktifitas fisik terutama renang.

Si Ganteng Rayen
Karena mungkin sudah lama menjalani terapi okupasi yg banyak kegiatannya dan hampir sama setiap kalinya, membuat rayen bosan dan sering nangis ngamuk, tidak mau melakukannya, Hingga kami mencobakan kegiatan outbound, dan memperbanyak renang utk mengganti terapi okupasinya.
Begitu juga dengan sekolah. Susah cari sekolah dengan guru yang sangat mampu dan mengerti cara membantu mengarahkan anak dan juga membantu org tua utk dapat mengajari anaknya hingga proses pembelajaran anak lancar. Belum juga, kami harus melewati tatapan aneh dari orang tua2 murid lain yang menyadari dari keanehan prilaku anak kami ini. Bisa juga mereka takut anak2 mereka meniru prilaku2 tsb. Pindah dari satu sekolah ke yang lain juga sudah biasa kami lalui.
Pergi ke tempat-tempat umum juga begitu. Apakah itu mall atau acara2 ulang tahun, kami sudah biasa menerima tatapan orang. Jika Rayen tantrum, pernah juga ada orang yang komen kami orang tua yang tidak becus, tidak bisa mendidik anak, dsb. Dalam hati bertanya, apa mereka harus menerima dulu anugerah seperti ini untuk bisa tidak menghakimi orang lain. Muka kami harus setebal dinding dan hati harus sekuat baja. Bisa menahan emosi dan air mata untuk tidak selalu bersedih hebat mendengar perkataan atau tatapan orang.
Di satu kesempatan bisa bertemu konsultan luar negeri yang bisa membantu kami menjelaskan kondisi Rayen terutama kemampuan komunikasi dan prilakunya yang masih belum terkendali sebagai hambatan keberhasilan program Rayen. Termasuk menerima bahwa Rayen belum siap sekolah di sekolah umum ataupun inklusi. Akhinya kami putuskan rayen menjalani home schooling dengan program yang diajarkan dengan metode ABA, yg akhirnya kami pahami sebagai cara belajar. Lewat program rumah ini, akhirnya sedikit sedikit Rayen mulai menunjukan perubahan prilaku, bisa sedikit konsentrasi walau masih pendek, mulai mampu mengenali benda, mengikuti instruksi, belajar tidak memakai pampers lagi dengan sistem batu bata hingga sekarang dapat mandi sendiri , sekarang dalam tahap belajar memakai sepatu keds dengan tali dll. Biomedis juga masih kami jalani.
Seharusnya di awal Rayen belajar untuk patuh, lalu menjalani terapi perilaku utk memperbaiki perilakunya dulu, baru dilanjutkan ke terapi okupasi untuk mematangkan otot dan lanjut lagi dengan terapi wicara. Kami menjalaninya terbalik2. Tapi kami tetap menjalaninya dan Alhamdulillah ada perbaikan-perbaikan dari Rayen walau pelan.

Rayen Sewaktu Jalani Terapi
Dari usaha kami cari informasi, berkenalan dengan orang tualain, bertanya apa saja yg sudah mereka lakukan dan tentunya mencoba segala sesuatu yang bisa dan mampu kami kerjakan. Semua kami kembalikan pada poin bahwa selain mampu melakukannya, kami juga bisa membiayai dan dompet kami juga tidak bolong karena biaya terapi dan lain-lain sangat ‘mahal’. Namun kami bersyukur bahwa keluarga besar kami juga memberikan dukungan financial yang cukup dalam hal ini.
Pelan2 ada perubahan-perubahan yang membahagiakan kami. Rayen mulai berkata-kata di usianya yg ke 7 tahun, dari bunyi2 selain dari mamamama. Itu rasanya sudah seperti–ngga tahu cara menjelaskannya bagaimana–yang pasti perasaan bahagia yang luar biasa, campur nangis mendengar Rayen bisa mengucapkan bunyi2 yang lain. Mulai ada kata ayah, mama, buku, mobil, kue, tapi kondisi Rayen yang kurang dalam masalah oral motor, menyebabkan pengucapan dari kata2nya sering tidak jelas dan tidak mudah dimengerti orang.
Jadinya kita tetap menerapakan PECS, tapi Rayen juga seperti anak lainnya, ada sifat malas atau apa, sehingga dia tidak terlalu mau nenteng2 album PECSnya. Jadi sekarang kami bawakan Ipod dengan software khusus utk media komunikasinya. Sampai hari ini kami masih bersama2 mengajari Rayen menggunakan media ini. Tidak akan pernah berhenti dan selesai karena banyak hal2 yang harus anak2 autis kuasai untuk bisa survive di dunia luar selain rumahnya. Satu2 harus diajari, apalagi utk anak non verbal seperti Rayen, harus diajarkan secara visual, dan menvisualkan kata sifat adalah tidak mudah.

Rayen
Kenyataan yang juga harus bisa kami terima adalah menerima Rayen dengan kemampuannya yang terbatas. Sudah hal biasa sebagai orang tua menginginkan anaknya bisa melakukan hal2 yang luar biasa. Sudah banyak contoh anak2 autis berpretasi masuk TV, media lainnya. Tentunya kami mulai membanding-bandingkan, kenapa Rayen tidak bisa melakukan prestasi yang dilakukan anak autis lain. Dari banyak orang saya mendengar bahwa anak autis biasanya memiki bakat yang luar biasa, entah itu art ataupun yang bersifat akademis. Rayen tidak menonjolkan hal-hal yang demikian, malah kecenderungannya kemampuannya dibawah. Tenyata tidak semua anak autis memiliki bakat.
Prestasi Rayen
Waktu berjalan hingga sekarang Rayen sudah 10 tahun, baru punya adik, masih dalam tahap penyesuaian sebagai kakak. Lumayan dalam penggunaan kata, walau kosa kata belum banyak, hiperaktif dan stimming masih ada, tapi Rayen sudah bisa rollerblade, tennis, outbound di tingkat dewasa, ikut club atletik Special Olympic di Rawamangun, hingga yang terbaru kami cobakan untuk mengikuti lomba renang Special Olympic DKI Jakarta di akhir tahun 2012 kemarin.
Rayen mendapat medali perunggu di lomba 50m gaya bebas putra. Gaya renangnya belum bagus. Di awal start sudah di depan, mungkin karena dia masih belum mengerti konsep lomba, jadinya rayen melambat ditengah, hingga dilewati lawan2nya. Baru Rayen lanjut renang lagi hingga dapat nomer 3. Medali dan piagamnya kami pajang di tempat terbaik di rumah kami.

Rayen Sebelum Mulai Berenang
Sekecil apa pun kami hargai dan gembira setengah mati dengan keberhasilan Rayen. Biarpun itu hanya Rayen bisa menuliskan namanya lengkap, sudah seperti di langit ke 7. Sampai hari ini kami masih mengusahakan segala sesuatu yang bisa kami berikan, lakukan utknya. Harapan dari yang setinggi langit hingga turun ke level semampunya Rayen kerjakan sudah kami pasang di otak dan hati kami. Yang penting buat kami berdua adalah Rayen adalah anak autis yang berbahagia dengan keberadaannya, dan tahu betapa dia dicintai oleh ke2 orang tuanya dan adiknya dan seluruh keluarga besarnya. Dia akan tumbuh besar dengan kondisi autisnya, masih dengan prilakunya yang aneh, tapi berbahagia.
Penanganan yang benar adalah lewat Segitiga Diagnosa, Pendidikan yang tepat dan Dukungan dari mulai keluarga terdekat hingga meluas ke masyarakat. Diagnosa penting untuk segera mencari pendidikan terbaik, tapi anak dan kelurganya juga membutuhkan dukungan untuk melangkah maju menuju ke perkembangan dan kehidupan yang lebih baik.

Rayen Berenang
Yang kami pelajari adalah sabar yang luar biasa, tidak ada anak autis yang sama, ada yang berbakat dan ada yang berkemampuan biasa saja, tidak semua program terapi cocok utk setiap anak, semua adalah invidual, kesembuhan adalah relatif, berdoa tiada henti, bersyukur sekecil apapun atas perkembangannya. Sebagai manusia kami punya kekurangan, juga sebagai orang tua. Banyak kesalahan dan kekurangan dalam memberikan yang sesuai dengan Rayen.

Rayen Menerima Penghargaan
Perjuangan kami masih panjang. Salah satunya menyiapkan lingkungan masyarakat yang bisa menerima keadaan anak2 ini, mengerti bahwa mereka punya kondisi dan pemahaman yang berbeda dengan orang normal. Dimulai dari mengedukasi kelurga dekat, hingga tetangga, hingga jangkauan yang lebih luas mulai kami pikirkan. Anak2 ini akan selalu hidup dengan kondisi autisnya, tingkah laku atau cara bicaranya aneh, bukan berarti hal yang bisa ditertawakan. Mereka berhak atas perlakuan yang sama, apakah itu pendidikan, penghargaan, untuk dapat diterima keradaan di tengah masyakat. Mereka akan terus diajarkan cara hidup mandiri, tetapi seperti manusia lainnya tetap membutuhkan bantuan orang lain di saat-saat tertentu.
Begitu juga dengan Rayen, kami selalu mengajak dia turut serta dalam perjalanan kami, atau pun bersama keluarga besar, baik itu jauh atau dekat, dalam setiap acara yang kami kunjungi. Tidak pernah terpikir dalam benak kami untuk Rayen ditempatkan di “sangkar” saja. Dia berhak melihat dan diterima oleh dunia luar.
Rayen, mama dan ayah masih menunggu Rayen bisa spontan bilang Rayen ‘sayang mama, ayah dan adik Lila’. In sya Allah ya kak …