Monthly Archives: June 2013

Gabus Pucung Khas Jakarta, Primadona di Batavia Food Festival

Seperti kebanyakan tempat makan pada umumnya, menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) DKI Jakarta yang ke-486, kebanyakan dari tempat tersebut berlomba-lomba untuk menyajikan makanan khas Jakarta. Ya, tak terkecuali Millennium Sirih Hotel, Jakarta Pusat. Lewat Cafe Sirih yang bernaung di bawah hotel tersebut, maka digelarlah ‘Batavia Food Festival’.

Uniknya, melalui Batavia Food Festival ini, Millennium Sirih Hotel menyajikan makanan yang beda dari tempat yang lainnya. Ya, anti mainstream gitu, deh! Beneran, lho. Soalnya, di festival kuliner tersebut, makanan yang disajikan tidak Betawi asli, melainkan makanan Betawi peranakan Cina-nya.

Beberapa Jenis Makanan yang Ada

Kurang lebih ada 20 jenis penganan khas Betawi yang dihadirkan dalam festival tersebut. Mulai dari Ayam Gulung Ngohiong betawi, Ikan Gabus Pucung, Asem-asem Daging, Dodol Betawi, Kembang Goyang, Selendang Mayang, Kue Pancong, dan jenis lainnya. Dengan konsep Buffet (makan sepuasnya / all you can eat), pengunjung yang akan menikmati makanan tersebut  dikenakan biaya Rp 150.000 ++ pada saat makan siang, dan Rp 165.000 ++ pada saat makan malam.

Pukis

Tapi, dari sekian banyak jenis makanan yang ada, yang paling favorit dan patut diacungi 4 jempol++ adalah ikan gabus pucung khas Jakarta-nya. Sumpah, demi apa pun, ikan itu enak banget.

Ikan gabus pucung ini, kabarnya, jika diolah sama orang yang tidak memiliki keahlian khusus, maka rasanya itu tidak bakal seenak ini. Soalnya, banyak pengunjung yang terkagum-kagum dengan makanan satu ini. Saking enak dan lezatnya gabus pucung khas Jakarta, ada beberapa pengunjung yang mengaku tidak suka ikan, jatuh hati sama masakan yang dimasak langsung oleh Executive Chef Cafe Sirih, Heriyanto.

Chef Heriyanto bersama masakannya

Penampakan Ikan Gabus Pucung Khas Jakarta dari dekat

Tidak hanya makan-makan saja, lho. Pada saat Batavia Food Festival berlangsung, Heriyanto pun membagikan resepnya ke pengunjung yang hadir.

Untuk mengolah masakan ini, terang Heriyanto, harus disiapkan bumbu-bumbunya dan dibagi menjadi 3 bagian. Untuk bumbu halus, kuah, dan ikannya.

Bahan :

  • 3 ekor (500 gr) ikan gabus masing-masing dipotong 2 bagian
  • 1 sendok teh air jeruk nipis
  • 4 siung bawang putih, dihaluskan
  • 1 sendok teh ketumbar bubuk
  • 1 sendok teh garam
  • 250 ml air
  • 1/4 minyak untuk menggoreng.

Bahan kuah :

  • 1000 ml air, 2 lembar daum salam, 6 lembar daun jeruk, dibuang tulangnya
  • 2cm lengkuas dimemarkan, 2 batang serai diambil putihnya dan dimemarkan
  • 1 buah tomat, dipotong-potong dan 2 1/2 sendok teh garam
  • 2,25 sendok teh gula pasir, 1 batang daun bawang, dipotong 1 cm
  • 2 sendok makan untuk menumis bawang merah untuk taburan.

Bumbu halus :

  • 10 butir bawang merah
  • 6 siung bawang putih
  • 4 butir kemiri, disangrai
  • 4 butir kluwek, direndam dan 2 kunyit yang dibakar
  • 5 buah cabai rawit merah.

Cara memasaknya cukup mudah. Lumuri ikan gabus dengan air jeruk nipis, bawang putih, ketumbar bubuk, garam dan air. Diamkan selama 20 menit, lalu goreng sampai matang. Kata Heriyanto, sebelum ikan digoreng, diamkan saja bumbu yang sudah dicampurkan ke ikan, biar meresap. Pun pada saat digoreng, jangan terlalu garing. Cukup 3/4 saja.

Nyammi :9

Bagi saya pecinta ikan, ikan dalam masakan ini tak terasa amisnya. Si chef tersebut benar-benar mahir dalam mengelolahnya. Untuk kepalanya sendiri, yang biasanya ditakuti oleh penikmat ikan gabus pucung, hari itu tak terasa menakutkan. Dagingnya lembut. Bumbu benar-benar meresap.

Bumbunya sendiri rasanya seperti kita makan rawon. Ya, kurang lebih begitulah.

Intinya, saya memberi nilai 8,5 untuk acara Batavia Food Festival ini, dan 9,5 untuk Gabus Pucung Khas Jakarta -nya.

Cafe Sirih, Millennium Sirih Hotel
Jl. KH Fachrudin No. 3 Kampung Bali Tanah Abang Jakarta Pusat DKI Jakarta
+62 21 2303636

 

Hotel Mercure Simatupang, Nyamannya Bikin Ogah Pulang

Sabtu lalu, saya mendapat ajakan dari Arie Pitax untuk main-main dan melihat isi dalaman dari hotel bintang 4 yang baru saja dibangun di kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Hotel Mercure Simatupang.

Sebenarnya ajakan untuk melihat hotel tersebut dari jauh-jauh hari saya dapatkan dari Umen. Hanya saja, pas hari H saya harus menjalankan tugas untuk liputan. Alhasil, dengan berat hati ajakan dari Umen saya lepas begitu saja.

Singkat cerita, janjian sama Goiq–sapaan akrab Arie Pitax–sekitar pukul 5 sore. Tapi, saya sampai terlebih dulu sebelum waktu yang disepakati. Lima menit kemudian, Goiq pun sampai ke hotel tersebut. Ya, intinya kami berdua sampai di tempat tepat pada waktunya.

Tak lama setelah kami berdua saling bertukar kabar dan ngobrol ringan–soalnya kopdar terakhir sama Goiq di 2012–Anti, perwakilan hotel tersebut menghampiri kami, dan menawarkan teh hangat sebagai pembuka, karena kondisi di luar yang sedang diguyur hujan.

Kamar hotel yang super nyaman

Setelah menyantap hidangan yang disuguhkan pihak hotel, ditemani Anti, kami berdua mendapatkan izin untuk melihat isi dari salah satu kamar Hotel Mercure Simatupang.

Kata Anti, kami hampir tak dapat melihat isi kamar yang ada, karena pada hari itu, kamar yang sudah rapi dikerjakan semuanya full. Tapi, untunglah masih ada 1 kamar yang dapat kami masukin untuk melihatnya dalamnya, walau tak lama.

Kamar tersebut berada di lantai 15. Termasuk kamar dengan tipe ‘semi apartemen’, yang barang tentu harganya lebih mahal dari kamar dengan ukuran normal.

Kamar tersebut benar-benar apartemen banget. Pada saat pintu dibuka, penghuni yang akan menginap di kamar tersebut akan disambut dengan meja makan kecil, rak, kulkas, dan wastafel. Persis di sebelahnya, penghuni akan menemukan satu sofa besar, meja cokelat berbentuk bundar, karpet berwarna biru, dan ada satu sofa kecil yang di sampingnya terdapat meja kecil serta lampu, yang pas digunakan untuk sekedar membaca buku.

Penampakan Ruang Tamu dan Dapur

Kursi di Pojokan

 

Cat ruang tamunya berwarna biru, dipadupadankan dengan gorden berwarna cokelat. Menyesuaikan dengan warna sofa dan meja yang ada di ruangan itu. Dan itu sama persis dengan perpaduan warna yang ada di kamar saya, karena saya pecinta dua warna itu.

Oia, tak ketinggalan, satu buah televisi berukuran besar. Di belakang televisi tersebu ada 1 ruangan yang menjadi kamar tidur utamanya. Beda ruangan, beda pula ornamennya.

Di kamar tidur, pemilik hotel memberikan cat berwarna putih ditambah dengan kain gorden berwarna hitam, dan gravity yang berada tepat di belakang tempat tidurnya.

Kasur di Kamar Tidur

Tempat tidur di kamar ini cukup besar, dan kasurnya empuk banget. Terlebih bantalnya. Melihat kasur dan bantal yang super empuk seperti itu, saya yakin akan membuat penghuninya jadi mager (males gerak)

Yang mengerikan dari kamar tersebut adalah kamar mandinya. Eits, bukan, bukan horor, tapi tak ada gorden yang menutupinya. Tembus pandang gitu. Jadi ya, pas ada yang mandi, kita bisa melihatnya secara langsung.

Transparan

Menurut saya, penghuni yang cocok mendiami kamar jenis ini adalah mereka yang sudah sah menjadi suami istri. Atau ya, selingkuhannya juga bolehlah.

Akan sangat enggak banget, ketika yang menjadi penghuni kamar itu dua pria yang sedang menjalani dinas dari kantor, dan hanya dapat jatah 1 kamar saja. Mampus! Bingung, bingung dah makai apa nutupnya.

Masuk ke dalam lift, seperti berada di hutan belantara

Lift di Hotel Mercure Simatupang ini benar-benar memanjakan mata pengunjungnya. Gimana nggak, mereka membuat lift tersebut seakan-akan pengunjungnya berasa di hutan belantara. Di dinding lift, pihak hotel memberikan gambar dedaunan yang tampak sangat asri.

Tidak hanya itu, lift tersebut juga menggunakan layar sentuh, layaknya gadget yang sedang membumi belakangan ini.

Lift di Hotel Mercure Simatupang

Sayangnya, lift tersebut ukurannya sangat kecil dan (menurut saya) rada sempit. Hanya muat beberapa orang saja, dan tak banyak, hanya dua. Bayangin dong, apa jadinya kalau ada penghuni hotel yang barangnya segambreng dan haru menggunakan troly. Bisa-bisa nih, 1 lift isinya dia doang sama barangnya.

Tambahan saja. Akan lebih terasa hutannya, apabila pihak hotel menambahkan kicauan burung yang saling bersahutan. Akan seru, tampaknya.

Hotel Mercure Simatupang Go Green

Saya yakin, bukan hanya saya yang tidak ngeuh akan keberadaan satu kotak yang berada dekat dengan pintu masuk. Saya bahkan baru menyadari ada kotak tersebut, ketika hendak keluar pintu dan bergegas pulang.

Kotak tersebut merupakan tempat sampah. Eits, bukan tempat sampah sembarangan, lho. Kotak itu adalah tempat sampah untuk baterai bekas.

Yuk, buang sampah baterai di sini

Angkat topi dan acungi 4 jempol yang memiliki ide kecil, tapi sangat bermanfaat ini. Tahu dong, kalau kita buang baterai bekas sembarangan akan berakibat apa? Daripada baterai bekas yang ada di rumah kamu dibuang sembarangan begitu saja, mending dikumpulin jadi satu, dan singgah deh ke Hotel Mercure Simatupang untuk menaruh semua baterai bekas yang kamu punya, di kotak tersebut.

Sepertinya–ini menurut saya, lho–baru Hotel Mercure Simatupang yang memiliki ide seperti ini. Apa ada hotel lain, sebelum Mercure Simatupang melakukan hal serupa? Beri tahu saya, segera!

SLAM, Sky Lounge at Mercure

Nah, ini tambahan informasi untuk kamu yang mau atau akan menginap di Hotel Mercure Simatupang. Cobalah untuk menikmati malam di bar hotel tersebut, Slam Bar.

Slam bar berada di lantai paling atas, 19. Tempatnya bukan di dalam ruangan, tapi di luarnya. Tempatnya mungil, tapi pas duduk lalu mengobrol sambil menikmati segelas wine dan alunan merdu nan syahdu dari home band-nya, pasti nggak mau cepat-cepat beranjak.

Dua Minuman yang Disajikan. Lupa namanya! Di belakang itu, penampakan Bayu

Tepat pukul 9 malam, pengunjung bar akan disuguhkan dengan musik disko yang siap menghentak malam Anda. Hari itu, DJ yang bertugas adalah Bayu Satria (@satriaputrabayu).

Bayu Satria ini merupakan DJ termuda yang ada di bar tersebut. Walaupun muda, sepertinya jam terbang Bayu tak perlu diragukan lagi. Mungkin karena itulah, Hotel Mercure Simatupang menerimanya menjadi DJ di Slam Bar.

Hotel Mercure Simatupang Jakarta
Jl. R.A. Kartini No.18, Lebak Bulus
Jakarta Selatan 12440
Tel: +62 21 75 999 777 | Twitter @Mercure_Smtpg | @SLAM_TheSkybar

Hei, Willy, Aku Rindu Padamu !

Setahun yang lalu, setelah 14 tahun tidak pernah pulang ke kampung halaman di Medan, akhirnya saya kembali menginjakkan kaki di sana. Semua cerita perjalanan selama di Medan, semuanya sudah saya ulas tahun lalu. Tapi, saya baru ingat, ada postingan yang belum sempat saya tuliskan, lalu saya post di blog ini.

Selain ziarah dan bertemu sanak keluarga yang sudah lama tidak saya temui, niatan saya lainnya adalah, bertemu dua sahabat baik saya, Willy dan Mia.

Sudah lama saya mendengar kabar kalau Willy, sahabat sekaligus adik kelas saya di SD Ikal Medan, telah berpulang ke Rahmatullah karena penyakit yang telah lama ia derita, sesak napas. Maka itu, niatan saya pulang ke Medan sekalian ingin mengunjungi Willy di rumah barunya. Saya sadar, saya tak mungkin dipersilahkan masuk oleh lelaki gempal itu, tapi bukan berarti itu menjadikan sayaurung untuk mengunjunginya.

Tapi, sepertinya Tuhan belum mengizinkan saya untuk bertandang ke rumah barunya. Karena, pada saat saya bertandang ke rumah kedua orangtuanya, om Brama dan tante Ayen sudah tak menempati rumah itu lagi. Saya hilang kontak, saya bingung mau mencari mereka ke mana. Bertanya ke tetangga kanan dan kiri, mereka semua tak ada yang mengetahuinya. Saya hanya mendengar cerita tetangga, bahwa tante Ayen sangat terpukul atas kepergian Willy yang tiba-tiba.

Sedangkan makam Willy, tak banyak yang tahu di mana letaknya, karena jauh dari Medan.

Menurut cerita mereka juga, pagi hari, di hari kepergian Willy untuk selama-lamanya, tante Ayen masih sempat mengantarkan Willy ke sekolah, karena kawan saya itu ada ujian yang tak dapat ia tinggalkan. Beberapa jam setelah tante Ayen sampai di rumah sehabis mengantarkan anak kesayangannya itu, beliau mendapatkan kabar dari sekolahnya Willy, dan mengatakan kalau Willy dalam keadaan sekarat. Sesak napasnya kambuh, dan itu lebih parah dari hari-hari sebelumnya.

Ternyata, sahabat baik saya itu masih bergelut dengan penyakit lamanya, yang sangat dia benci itu. Willy, sosok anak lelaki gemuk, putih, bermata sipit, rambutnya hitam, dan paling suka dibelah tengah itu, memang kerap merasa kelelahan setiap kali selesai beraktivitas. Meski gemuk, dan saya waktu itu juga gemuk–bahkan gendut–, Willy sosok anak yang sangat aktif.

Di SD dulu, Willy merupakan adik kelas yang prestasi olahraganya tak perlu diragukan lagi. Sewaktu pertandingan kasti, Willy berhasil memukul bola yang diarahkan kepadanya jauh dari batas lapangan, alias home run, dan membawanya bersama teman sekelasnya juara 1. Begitu pun dengan senam SKJ. Walaupun Willy berat membawa badannya, dia begitu lincah ketika disuruh memperagakan setiap gerakan SKJ itu dengan baik dan benar.

Dulu, karena rumah kami hanya berbeda gang, hampir setiap hari saya pergi dan pulang sekolahnya dengannya. Karena kami 1 jemputan sekolah. Duduk pun, kami selalu memilih untuk berdua. Kami malu. Kami merasa bukan siapa-siapa di dalam bus itu. Kami hanyalah 2 murid gendut, yang selalu diolok-olok di dalam bus itu.

Di dalam perjalan pulang, Willy beberapa kali mengeluh dadanya yang selalu sesak ke saya. Tapi, saya kala itu tak dapat berbuat banyak, dan hanya berkata ke Willy, “Sabar kau ya, bentar lagi kita sampek. Nanti kuantar kau sampai depan rumah, sampai mamak kau keluar,”

Tapi, Willy selalu menolak. Dia bahkan membalas ucapan saya dengan kata-kata, “Tak usah. Aku baek-baek saja. Kau pulang saja, lagian kan, kau mau ke TPA lagi. Kalau kau antar aku pulang, dan mamakku panik, tak dapat aku bersepeda dan melihat kau di TPA. Sudah, aku baik-baik saja.”

Sore hari, dari jam 3 sampai 5-nya, saya selalu memperdalam ilmu di TPA yang letaknya pun tak jauh dari rumah kami. Setiap jam 4 sore, ketika Ashar usai dan jam istirahat, Willy tak pernah absen mengunjungi saya di TPA itu. Terkadang, Willy membawakan saya ketan Medan buatan tante Ayen. Saya menghampirinya, untuk menyantap bekal secara bersama-sama.

Itu terjadi selama hampir 3 tahun, sebelum saya pindah ke Jakarta, mengikuti orangtua saya yang pindah ke Riau.

Di hari saya akan meninggalkan Medan untuk waktu yang tak terkira, tiba-tiba Willy menghampiri saya ke rumah, dan memberikan saya sepaket tempat makanan. Isinya, tak lain adalah ketan Medan favorit kami. Tak ketinggalan juga, Willy menyisipkan sepucuk surat yang saya simpan, dan surat itu hilang pada saat saya akan pindah dari Jakarta ke Riau.

Isi surat dari Willy sederhana, “Selamat jalan Dit. Semoga tak degil kau ya di sana. Aku belum pernah ke sana. Kelak kalau aku ke sana liburan, kita bertemu ya. Salam dari kawanmu yang buntal ini, Willy.”

Sayang, surat menyurat yang sering saya lakukan sewaktu di Jakarta, luntur ketika saya berada di Riau. Entahlah. Waktu di Riau itu berasa lama buat saya. Bayangkan saya, saya harus berlama-lama di sekolah dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang. Pulang dari sekolah, saya harus langsung les, yang dimulai jam 4 sampai jam 5. Pulang dari les, dan sehabis sholat maghrib, saya harus mengaji selama 2 jam (karena beramai-ramai)

Sewaktu saya SMA dan pindah (lagi) ke Jakarta, saya mendengar kabar tak mengenakkan dari uwak kalau Willy mulai sakit-sakitan. Minimal, sekali dalam sebulan dia selalu keluar masuk rumah sakit. Saya ngenes mendengarnya. Tapi, saya tak dapat berbuat banyak. Menelepon dia pun hanya sekali, saya lakukan. Dan itu terjadi pada saat dia baru selesai perawatan (lagi) di rumah sakit.

“Hei, Wil, bagaimana keadaan kau? Masih sesak?,” tanya saya singkat, sambil menahan rasa rindu yang teramat dalam.

“Aku? Insya Allah baik,” jawabnya singkat. “Hei, suara kau tak berubah. Masih lembut. Sudah mimpi basah, kan?,” tanya Willy, yang diiringi dengan permintaan maaf, karena itu hanya candaan semata.

“Bagaimana Wil, kapan kita reunian. Aku kangen kau, kangen tante dan om, dan tentunya ketan buatan mamak kau,”

Obrolan itu terus mengalir. Kami saling bertukar cerita. Dia menceritakan soal cewek yang disukainya, dan saya hanya mampu mendengar, karena tak ada kisah cinta saya kala itu yang dapat dibagikan kepadanya.

Sebelum menyudahi obrolan itu, Willy sempat berkata, “Kalau sempat, pulanglah kau Dit ke Medan. Kalau misalnya uwak tak menerima kau menginap di rumahnya, menginaplah di rumahku. Apa di rumah sakit, menemaniku?.” Dan, saya pun hanya mampu menjawab, “Siap kawan, aku akan pulang, tapi tak tahu kapan waktu itu.”

Kini, cerita itu hanya dapat saya putar dan ingat ketika rindu ini membuncah. Saya kangen, rindu, dan saya ingin banyak bercanda dengan sahabat saya itu.

Tuhan, saya titip Willy. Jaga dia, Tuhan. Willy anak yang baik, jangan kau masukkan ia ke dalam nerakamu, tempatkanlah ia bersama nenekku di surga sana.

Tuhan, sampaikan rindu dan salam saya buatnya. Bilang padanya, kalau saya ingin bertandang ke rumah barunya.

Tuhan.. Kalau Willy masih gemuk, suruh dia diet, ya 🙂

Dari saya, sahabatnya! :’)

Bubur Manado Mana Lagi Yang Kau Dustakan Kenikmatannya?

Jalan-jalan sehat di hari Minggu pagi , tak jarang saya sisipkan dengan berkuliner yang sehat pula. Salah satunya, dengan menyicipi makanan khas Manado di Pasar Moderen Bintaro, Tinutuan atau bubur Manado.

Saya suka segala jenis bubur. Bubur kacang hijau, bubur ayam Madura, bubur ayam Tasik, sampai bubur Manado. Semua saya suka.

Ketertarikan saya sama makanan khas satu ini bermula saat diajak oleh seorang teman yang berdarah Manado santap siang di rumah orangtuanya. Waktu itu yang disajikan orangtuanya ada cakalang, tuna asap, sup kacang merah, sampai bubur Manado ini. Sejak saat itulah saya mulai jatuh hati pada masakan khas Sulawesi Utara ini.

Gimana tidak, saya yang penyuka sayuran ini begitu sumringah begitu mengetahui banyak terdapat sayuran di dalam bubur Manado. Kurang lebih ada 7 sayuran di dalamnya. Ada labu kuning, singkong, bayam, kangkung, daun gedi, jagung, dan kemangi.

Seporsi Bubur Manado

Sayurannya berlimpah ruah

Ikan Asin

Waktu di Pasar Moderen Bintaro, saya memasan seporsi bubur Manado yang ditemani dengan seporsi ikan cakalang. Entahlah, ikan cakalang ini membuat saya jadi ‘tamak’. Maunya mesan lagi, mesan lagi, dan mesan lagi. Ibu saya sendiri tahu betul kalau anaknya ini maniak terhadap masakan Manado. Tiap kali ibu tidak masak, beliau menyempatkan diri untuk membeli masakan Manado di restoran tersebut.

Tak jarang setelah membeli itu, ibu menelepon saya sekedar untuk mengingatkan, “Jangan sampai makan di luar ya, bang. Mama tadi beli ikan cakalang dan lain-lainnya.” Nah, kalau sudah seperti ini, saya tak dapat berbuat banyak, terpaksa menahan lapar demi menyantap masakan yang sudah dibeli itu.

Ikan Cakalang

Belum Dicampur Ikan

Bubur Manado Sudah Dicampur Ikan *lezat*

Di Manado sendiri,  kabarnya dan menurut cerita teman saya itu, makanan satu ini dapat dijadikan makanan pergaulan antar kelompok masyarakat di sana. Memang iya, ya? Wah, kalau seperti itu, berarti saya sudah gaul dong, ya? #dikeplak

Oia, bubur Manado ini dibandrol dengan harga Rp 10 ribu dan ikannya dihargai Rp 7 ribu.

Jadi, bubur Manado mana lagi yang kau dustakan kenikmatannya?