Monthly Archives: January 2014

Protected: Misuh: Beginilah Nasib Aquarius, Selalu Dianggap Tak Peka

This content is password protected. To view it please enter your password below:

Empuknya Daging Domba Modi & Rosa

Sebagai penikmat daging domba, kurang elok rasanya bila saya menolak undangan untuk mencicipi makanan di sebuah restoran Italia yang mana menu andalannya daging domba.

Dua bulan lalu, redaksi mendapatkan undangan peliputan dari salah satu restoran yang menyajikan beragam menu Italia yang sangat otentik, Modi&Rosa.

Pemilik restoran Modi&Rosa merupakan pria yang pernah dijuluki The King of Italian Cuisine oleh koran nomor satu di Malaysia `The Star`, yaitu Modesto Marini.

Waktu berbincang dengan media, Modesto mengatakan kalau dia pernah memasak untuk beberapa olahragawan legendaris, mulai dari Max Biaggi sampai Valentino Rossi. Kalau sepak terjangnya saja sudah sejauh itu, berarti masakannya sendiri tak perlu diragukan lagi, dong?

Restoran Modi&Rosa sengaja dinamakan seperti itu oleh Marini sebagai persembahan untuk dirinya sendiri dan anak tertuanya yang berkebangsaan Malaysia, Modi (nama panggilan Marini) dan Rosa (nama anaknya). Lucu, ya?

Modi&Rosa terletak di lantai 2 Jason Supermarket, yang terletak di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan. Dipilihnya lokasi tersebut karena saat ini Marini sedang melakukan kerjasama dengan pihak Hero, yang tak lain adalah pemilik dari Jason Supermarket.

Walaupun tempatnya menurut saya tidak strategis, tapi konsep dari Modi&Rosa sangat tepat untuk menggambarkan dari restoran Italia itu sendiri, cool, calm, dan cozy.

Restoran Modi & Rosa

Sayang, pelayan Modi&Rosa di mata saya sangatlah lelet dan tak bersahabat. Hari itu, entah berapa kali saya mengulang pesanan yang tak kunjung datang. Bahkan beberapa kali menu yang saya pesan, tak sesuai dengan mereka sajikan.

Berbicara menu makanan di Modi&Rosa, yang menjadi andalan dan sangat saya favoritin adalah daging domba import bagian paha yang disajikan dengan kentang tumbuk dan sayuran panggang, namanya Stinco D’angelo Brasato. Namanya memang ribet, seribet dari penyajian menu itu sendiri.

Daging Domba yang Enak itu

Nah, buat pengunjung yang tidak suka daging, disediakan juga pizza yang diracik khusus untuk para vegetarian, Pizza Margherita.

Pizza ini dipanggang dengan toping tomat segar, daun basil, dan keju mozzarella. Kalau kurang suka dengan toping ini, kita juga bisa memilih toping lainnya, seperti daun rocket dan minyak truffle.

Menu lain yang saya santap adalah Beef Lasagna. Dari sekian banyak menu yang saya pesan, entah mengapa Beef Lasagna ini yang paling tidak mengenakkan. Apa karena saya sudah kekenyangan, atau memang enggak enak. Bagi yang suka keju, pasti suka sama Beef Lasagna ini.

Pizza yang Topingnya segar itu

Beef Lasagna

Minuman yang disajikan di Modi&Rosa antara lainnya adalah Modi&Rosa Rainbow. Minuman cantik ini perpaduan antara buah strawberry, jeruk, dan kiwi. Rasanya sangatlah segar, sangat cocok diminum setelah menyantap makanan yang disajikan dalam keadaan panas.

Untuk kamu yang suka `minum`, Modi&Rosa juga menyajikan bir, wine, dan minuman alkohol lainnya.

Segar

Dari menu yang saya baca, daftar harga makanan dan minuman di Modi&Rosa berkisar Rp 50 ribu sampai Rp 200 ribu. Siap merogoh kocek sebanyak itu? Silahkan mampir dan rasakan sensasi dari setiap menu yang ada di Modi&Rosa.

(Foto by: Adrian, Liputan6.com)

Modi & Rosa
Authentic Italian Dining
Lantai 2 Jason Supermarket
Jalan Ampera Raya Nomor 22, Jakarta Selatan.
Buka dari pukul 11.00 sampai 22.00 WIB

Melihat Langsung Tropi Piala Dunia 2014

Waktu Tropi Piala Dunia nampang di Jakarta Hall Convention Centre (JHCC) pada Rabu (8/1), saya diberi kesempatan untuk melihat langsung dan berfoto bersama tanpa perlu antre. Jujur saya tidak ngeuh sama sekali kalau hari itu tropi yang beratnya 3,8 kilogram akan dipajang dan diperlihatkan ke masyarakat ramai.

Memang dasarnya tidak suka bola, jadinya ketika panitia acara liputan memberi tahu para wartawan dapat melihat dan berfoto bersama tropi itu secara langsung, ekspresi saya biasa saja, sedangkan teman-teman yang lain ekspresinya senang banget. Lah, wong itu cuma tropi (pikir saya), ngapain banget sampai heboh gitu *ditendang penyuka bola*

Jadi tropinya itu diletakkan di dalam tempat yang ditutupi kaca. Walau sudah dilapisin kaca, pengunjung tetap saja tidak diizinkan untuk menyentuh kacanya. Kalau tropi tidak boleh dipegang, saya bisa maklum. Lah, ini kaca.. Ya keleus kagak boleh disentuh. Karena larangan seperti itu, posenya pun standar saja.

Pose standar bersama tropi

Selepas difoto, saya bersama rekan jurnalis lainnya diajak mengelilingi lokasi tersebut. Setelah dari ruangan di mana tropi dipajang, saya beranjak ke ruangan lain. Saya lupa nama ruangannya, tapi kalau tidak salah namanya itu `Ruang Interaktif`. Di ruang itu ada lapangan bola ilusi, di mana pengunjung bisa bermain bola tapi tidak ada bolanya. Nah, pas saya ke situ, ada dua orang anak kecil blasteran gitu sedang mencoba lapangan ilusinya.

Selain lapangan ilusi, ada juga both buat foto-foto gitu. Standarlah. Latar belakangnya foto-foto pengunjung yang berpose di situ. Bergeser sedikit, saya melihat bola-bola yang pernah digunakan sepanjang Piala Dunia berlangsung. Kalau tidak salah, ada 10 bola apa 11 bola gitu, deh.

Sisanya, foto-foto standar. Maklumlah, yah. Eh, tapi pas mau pulang dan kembali ke tempat tropi piala dunia untuk pamitan sama panitinya, tidak tahunya si bapak menteri kece yang lagi jadi bahan omongan nongol juga di sana. Yah, sama seperti pengunjung lainnya, doi pun ikut foto-foto.

Berhubung si bapak lagi diomongin banyak orang, sayang dong kalau tidak diajak untuk foto bersama.

Bola raksasa

Lapangan ilusi

Bola yang pernah digunakan

Foto-foto

 

Foto bareng Menteri

 

Uang Dolar dan Pup di Celana

Waktu duduk di bangku kelas 5 SD, saya memutuskan untuk hidup terpisah dari kedua orangtua. Tahun itu, papa dipindahtugaskan dari Medan ke Tanjung Balai Karimun, Riau.. Sedangkan saya memilih untuk tinggal bersama kakek dan nenek di Jakarta.

Bukannya sombong atau bagaimana. Cuma waktu itu, kata teman-temannya papa di kantor sana, kalau anak yang sekolahnya nanggung, atau dua tahun lagi bakal tamat SD, sayang kalau harus menghabiskannya di sana. Jadilah saya disekolahkan di Jakarta.

Meski hidup terpisah, tiap liburan caturwulan saya selalu berlibur ke sana. Pernah suatu hari, papa menyuruh saya membuat passport agar bisa diajak liburan ke Singapura. Jadilah di liburan pertama saya saat itu, saya diajak ke Singapura, yang jaraknya cuma sejengkal dari Karimun.

Siapa coba yang enggak senang diajak ke Singapura. Walaupun dulu belum ada Universal Studio dan jalan-jalan ngiterin Singapura dengan berjalan kaki dan menggunakan MRT, tapi senang saja gitu. Ditambah lagi, banyak kenalan baru mama dan papa di sana.

Yang lebih membahagiakannya lagi adalah tiap bertamu ke teman-teman baru orangtua di sana, saya dan adik kerap dikasih salam tempel ketika pamitan pulang selepas bertamu. Lumayanlah, tiap 1 rumah dikasih paling besar 2 dolar singapura. Karena saat itu saya enggak paham bakal diapakan uang-uang itu, akhirnya hanya saya simpan saja di dompet, sampai akhirnya saya pulang lagi ke Jakarta.

Saya cuma ingat omongan papa, “Kalau uang dolar itu harus ditukarkan ke dalam bentuk rupiah di bank,”. Sudah, papa cuma ngomong gitu dan tidak menjelaskannya secara detail.

Nah, pernah satu ketika kejadian super memalukan terjadi pada saya. Kala itu sepulang dari sekolah, saya memutuskan untuk tidak menggunakan angkot atau metro mini, tapi bajaj.

Bajaj di tahun 1998 itu merupakan kendaraan mewah nomor kedua setelah taksi. Saya berani, karena saya ingat di dompet ada beberapa lembar uang dolar. Di saat yang bersamaan, saya ingat juga sama omongan papa kalau 1 dolar singapura kala itu berkisar 2 ribu rupiah. Yasudah, karena saya beranggapan hari itu uang jajan saya super banyak, enggak mikir panjang untuk pulang menggunakan bajaj.

“Ke mana, Dik?,” tanya abang tukang bajaj bernama Dadang.

“Ke Arteri Pondok Indah ya, Bang. Tapi lewatnya Mayestik saja,” kata saya menjawab pertanyaan si abang.

“Oke,” katanya

Bang Dadang ini supir bajaj langganan teman sekelas saya bernama Dinda. Saya mau menaiki bajajnya, karena menurut Dinda supir bajajnya itu baik dan lucu.

Tak lama setelah bajaj yang saya naiki melaju, sampailah di sebuah bank yang ada pertigaan mayestik.

“Kenapa berhenti di sini? Kamu mau ngapain? Nabung?,” tanya si bang Dadang.
“Enggak, saya mau nukerin dolar saya, bang. Abang tunggu sebentar, ya,” kata saya lugu.

Lalu, masuklah saya ke bank tersebut. Di dalam bank, saya disambut seorang pria yang mukanya serem banget. Kumisnya lebat, dan logat Maduranya yang super kental. Melihat saya saja tatapannya penuh curiga. Seakan-akan saya ini maling cilik gitu.

Setelah saya kasih tahu maksud dari tujuan saya ke bank itu, si satpam tersebut membawa saya ke lantai dua, dan menyerahkan kepada seorang pegawai bank yang menurut saya kala itu sangatlah cantik.

“Hai, Dik, ada perlu apa? Mau nabung? Boleh lihat buku tabungan kamu?,” tanya si mbak itu sopan.
“Hmmmm.. Enggak sih, Mbak. Saya enggak mau nabung, karena tabungan saya BCA (padahal itu bukan bank BCA),” jawab saya lugu.
“Lalu?,”
“Sebentar ya, Mbak,” jawab saya sambil membuka tas dan mencari dompet yang berisikan uang dolar kepunyaan saya.
“Mbak, begini.. Saya mau menukarkan uang dolar ini. Ini ada 5 lembar,” kata saya sambil menyodorkan beberapa lembar uang ke pegawai bank itu.
(Bukannya menjawab, si Mbak malah nyengir)
“Dik, maaf, ya. Sebelumnya kamu dapat uang dolar ini dari mana?,”
“Dapat dari saudara waktu saya ke Singapura,”
“Benar, bukan nyuri, ‘kan?,” tanya si Mbak curiga.
“Beneran, enggak. Memangnya kenapa?,” jawab saya dan bertanya kembali.
“Begini, Dik. Uang dolar kamu ini tidak bisa ditukarkan di sini. Lagian, tidak bisa sembarangan orang yang dapat menukarkan uang ini. Kamu harus ditemani sama orangtuamu,” kata si Mbak coba menjelaskannya pada saya.

Ketika mendengar perkataan si mbak cantik itu, saya hanya bisa diam. Enggak bisa berbuat apa-apa. Justru ada rasa takut. Takut kalau saya disangka penipu, dan takut pula kalau saya diseret sama satpam super nyeramin yang ada di lantai bawah.

“Mbak, orangtua saya tidak tinggal di sini. Mereka ada Riau. Jadi, saya enggak bisa nukarin uang di sini? Yasudahlah kalau gitu. Terimakasih yah, Mbak,” kata saya sambil menunduk dan tak berani melihat si pegawai bak.

Dalam keadaan sedih, saya berjalan lesu ke arah bajaj yang cukup lama menunggu saya.

Selama di perjalanan, saya hanya bisa diam dan berpikir, bagaimana caranya saya dapat membayar bajaj yang saya naiki? Saya berusaha memutar otak, dan mencari cara agar saya tidak dimarahin kakek atau nenek di rumah.

Begitu sampai depan gang.

“Bank, tunggu sebentar ya. Saya ambil dulu uangnya,” kata saya ke bang Dadang.

Dari depan gang saya berusaha mengatur mimik muka agar mirip seperti orang kebelet pup. Sambil memegang celana bagian belakang, saya langsung ngibrit ke kamar mandi, dan bilang ke orang rumah kalau saya mencret.

Pas di kamar mandi, sebisa mungkin saya mengeluarkan kotoran, lalu menjatuhkannya ke celana dalam, agar lebih meyakinkan. Selepas berak, saya menemui nenek sambil berkata, “Mbak Nti, Adit mencret. Jadinya Adit naik bajaj. Adit minta uang untuk bayar bajaj dong. 4ribu saja,” kata saya melas.

“Lho, kamu naik bajaj? Abang bajajnya belum kamu bayar? ADIT! Kenapa enggak bilang dulu biar bajajnya dibayar. Jangan dibiasakan kayak gitu!,” kata nenek memarahi saya.

“Yaudah, ini uangnya. Kamu bayarin sana ke abang bajajnya dan bilang maaf,” kata nenek lagi.

Itu sengaja saya lakukan, biar bajajnya saya yang bayar. Gawat kalau misalnya nenek yang bayar, dan si abang bajajnya lemes memberitahu nenek kalau saya habis dari bank, bukan BCA.

 —

Ini tulisan pertama saya, mengikuti tantangan #30hariCeritaKebodohanMasakecil dari Mas @Zulhaq_

Sumber featured image: Uwebkk (Flickr)