Mudik ke Medan, Sumatera Utara, yang terjadi pada Jumat lalu meninggalkan kesan begitu dalam. Empat hari di kota penghasil durian terbaik di Indonesia kami gunakan untuk silaturahmi. Ke rumah saudara papa, mengunjungi rumah sepupu, sampai bertamu ke rumah sahabat-sahabat papa dan mama membuat saya tak sempat melarikan diri untuk sekadar wisata kuliner khas Medan atau mencari oleh-oleh khas Medan.
Papa, mama, saya, dan adik lahir di Medan. Ketika adik berumur tiga atau empat tahun, papa dipindahtugaskan ke Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, sehingga adik kerap uring-uringan karena bingung mau ke mana selama liburan di Medan. Teman tak punya. Mau main sama saudara tak pernah kenal dan dekat.
Sementara saya, sudah menyiapkan banyak rencana selama di kampung halaman, termasuk mencari Pokemon yang ternyata kosong alias tidak ada sama sekali. Yang CP Pokemon rendah sekali pun tetap tak ada. Mungkin para Pokemon kehabisan tiket pesawat ke Medan atau menunggu harga tiket pesawat murah. Meski begitu mudik ke Medan kali ini masih tetap seru.
Penginapan di Medan favorit kami
Papa sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Maka ketika memilih penginapan selama di Medan, papa mau yang ada ruang tamunya. Dan Apartemen Grand Aston City Hall Medan memenuhi semua kriteria papa. Lokasi strategis, berasa tinggal di rumah sendiri karena ada ruang tamu, ruang makan, lengkap dengan kompor dan kulkas, dan harga per malam Apartemen Grand Aston City Hall jauh lebih murah ketimbang kamar hotelnya.

Mudik ke Medan pasti bermalam di Grand Aston ini
Papa dan mama bukan tidak mau menginap di rumah saudara. Papa hanya tidak mau merepotkan saudara. Kan tidak mungkin, ketika teman, sahabat, atau saudara jauh papa datang malah disuruh cepat-cepat pulang lantaran nggak enak sama yang punya rumah karena sudah malam. Sedangkan papa dan mama doyan sekali ngobrol. Bisa lho melepas rindu semalam suntuk.
Nah, alasan lain yang bikin betah menginap di Apartemen Grand Aston City Hall Medan adalah mereka punya petugas cleaning service yang cekatan, fasilitas olahraga yang terawat dengan baik dan lengkap, WiFi kencang banget, dan ada clubbing di lantai dasar. Hi hi hi :p
Buat yang penakut kayak saya tapi doyan kelayapan malam-malam, security di sana bersedia mengantarkan sampai ke lantai di mana kamar kita berada. Ini hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih tempat menginap.
Keponakan di Binjai kayak bayi Jepang
Yang kami lakukan di hari pertama, sebelum dan setelah istirahat sebentar untuk sholat Jumat adalah ke rumah kakaknya kakek yang sudah saya anggap seperti nenek sendiri. Saking dekatnya jadi kayak nenek kandung sendiri. Bisa gelendotan, manja-manjaan, bahkan waktu saya sunat, kakaknya kakek yang biasa saya panggil Mbah Wedo inilah yang merawat saya.

Yang dicari mama kalau mudik ke Medan
Lepas dari situ, kami yang diantar sahabat-sahabat papa, makan miso Methodist yang sekarang berada di dekat air pancur, tak jauh dari SMA Negeri 1 Medan. Sambil menunggu pengumuman anaknya sahabat papa, apakah keterima di SMA Negeri 4 atau tidak. Terakhir, ke rumah sahabat papa yang satunya lagi untuk bertamu, sekaligus merayakan kelulusan tersebut, dan pesta kecil-kecilan menyambut ulangtahun si adik ke-21 tahun yang jatuh ke-esokan harinya.

Si Bayik Jepang yang pipinya macam bakpau
Di hari ke-2, Winda, sepupu saya (cucu Mbah Wedo), mengajak ke Binjai, bertamu ke rumah sepupu kami bernama Denny. Seorang dokter fisioterapi di salah satu rumah sakit di kota Binjai. Sebetulnya, Denny dan istri yang mau menemui kami di Medan. Namun, rencana harus diubah karena di Jumat malam telah terjadi satu peristiwa yang membuat dia syok. Yang membuat dia sulit tidur.
Denny baru dikaruniai seorang anak laki-laki yang sekarang sudah berumur 1,9 tahun. Anaknya lucu banget kayak bayi-bayi keturunan Jepang gitu. Padahal, emak sama bapaknya orang Binjai, nggak ada sedikit pun darah Jepang mengalir di tubuh keduanya.

Orang-orang ini bakal marah kalau pas mudik ke Medan tidak kasih tahu
Tapi, sewaktu masih kanak-kanak, Denny memiliki kadar kegantengan yang tak ada satu orang cucu mampu melawan. Kalau dijejerin, Denny dan bang Indra (abangnya), berada di barisan paling depan sebagai cucu yang paling ganteng. Almarhum papanya juga ganteng. Wajar kalau sekarang anaknya juga berparas tampan dan menggemaskan.
Waktu Mudik ke Medan sekitar dua tahun lalu, bayi Jepang bernama Azka ini masih di dalam perut mamaknya. Sekarang sudah besar saja. Untung anaknya nggak rewel dan mau saya gendong. Aha, Azka punya koleksi yang sama seperti saya, yaitu mengenakan topi ketika bepergian. Lihat, topi kami mirip.
Wisata kuliner di Binjai
Mudik ke Medan tanpa wisata kuliner? Pulang, gih! Kagak usah sok-sok diet kalau lagi di Medan. Banyak makanan menggiurkan yang memanggil-memanggil untuk segera ditelan.
Tidak banyak makanan yang saya santap selama di Medan. Baru beneran wisata kuliner ketika di Binjai. Denny, Teza (istri Denny), Winda, dan Maoli (calon suami Winda) mengajak ke Kampung Kuliner. Teza bilang, bebas, mau pesan apa saja, mereka yang bayar. Ya, saya ditraktir sama mereka. Si Winda sama Maoli lagi diet, jadi makannya agak sedikit dari biasanya. Biar baju pengantinnya muat. Deadline mereka sebulan lagi soalnya.

Martabak Aceh. Nggak mudik ke Medan pun masih suka makan mi Aceh. Tapi yang ini beda

Roti tisu salah satu kuliner khas Medan yang harus dicoba ketika kalian mudik ke Medan

Beneran kepiting, njir!
Setelah kenyang menyantap nasi goreng bombai, mi aceh, kue tisu, dan satai, kuliner kami malam itu ditutup dengan durian Medan yang rasanya aduhai nikmatnya.
Mudik ke Medan sama saja dengan menggeser angka di timbangan menjadi lebih besar.
Kumpul bersama keluarga kakek dari papa di Tebing Tinggi
Tujuan kami mudik ke Medan yang sebetulnya adalah untuk menghadiri kumpul bersama keluarga kakek dari papa di Tebing Tinggi. Yang ternyata jumlahnya banyak banget. Kalau kemarin itu ada sesi foto keluarga, dipastikan akan dilakukan di tanah lapang yang luas sekali.
Tidak semua hadir di acara itu. Sedih, tidak bisa bertemu semua. Sebab, saya tidak pernah tahu atau siapa saja saudara-saudara dari keluarga kakek. Kecuali anak kandung kakek. Kayak keponakan kakek yang ternyata pacar teman saya ketika SD dulu, baru saya ketahui setelah kenalan lalu berteman di Facebook.

Alasan terbesar papa mau mudik ke Medan tahun ini adalah bertemu mereka
Namanya juga orang Medan, nggak lengkap kalau bikin acara kumpul-kumpul tidak ada organ tunggalnya. Tante dan om saya gemar sekali bernyanyi. Satu sepupu saya ada yang menjadi penyanyi rekaman yang terkenal di kota Medan, saya-lupa-siapa-namanya padahal papa koleksi semua kasetnya.

Kedua adik ayahnya papa yang sudah kami anggap seperti kakek dan nenek kandung
Dari acara itu, saya jadi tahu siapa adik-adiknya kakek. Dua di antaranya yang ada di foto ini. Yang laki-laki pernah menginap selama satu bulan di rumah kami di Ciputat. Jadi sudah cukup akrab. Sementara yang nenek, baru kemarin itu kami berjumpa. Untuk dekat sama beliau tak butuh waktu lama. Setelah ngobrol banyak hal, begitu mau pamit pulang malah sedih.
Alhamdulillah, semuanya sehat dan tanpa kekurangan apa pun.
Bertemu Bou Fitri, sahabat mama yang sudah kayak saudara sendiri
Dari Tebing Tinggi kami lanjut ke daerah Belawan. Satu harian digunakan untuk roadshow yang jarak dari satu tempat ke tempat yang lain cukup jauh. Bokong terasa panas. Beruntung pemandangan di sisi kiri dan kanan jalan selama menuju Belawan tak bikin mata sakit. Kebun kelapa sawit yang terawat, rumah kampung yang masih berdiri tegak, dan kerbau yang tak jarang membuat jalan sekitar situ jadi tersendat.
Kami mau bertemu Bou Fitri, sahabat mama yang sudah kami anggap kayak saudara sendiri. Ketika rencana mudik ke Medan dibicarakan, mengunjungi rumah mau masuk ke dalam list rumah saudara yang harus didatangi. Bou Fit adalah orang yang selalu ada setiap kali kami mengalami kesusahan sewaktu masih tinggal di Medan. Bou Fit juga setia menjaga mama selama proses melahirkan saya dan adik. Waktu saya lahir, papa sedang tugas di Aceh. Waktu adik lahir, bidan yang akan membantu proses keluarnya dia dari rahim mama adalah sahabat mama dan Bou Fit.

Bou Fitri.
Bou Fitri lagi dalam proses pemulihan setelah dirawat selama hampir sebulan karena radang lambung. Beliau rela masak semua makanan ketika tahu kami akan bertamu ke rumahnya. Bou kemarin cerita, bantuan beras yang dia terima setiap bulan harus dihentikan karena para tetangga menganggap beliau punya uang lebih waktu berlibur ke Malaysia. Padahal, semua biaya selama ke dan di Malaysia ditanggung keponakannya yang dia urus sejak kecil. Tapi Bou pasrah dengan keputusan itu. Menurut dia, yang namanya rezeki bisa datang dari mana saja.
Makan mi rebus Glugur
Ritual wajib papa saat mudik ke Medan adalah makan mi rebus Glugur. Papa itu paling anti kalau diajak makan di pinggir jalan di Jakarta. Bukan sok atau bagaimana, papa punya masalah kesehatan yang membuat perutnya berontak setiap kali salah makan. Tahu sendiri meracik makanan khas tenda-tenda pinggir jalan kayak apa.

Mi rebus Glugur. Favorit papa setiap kali mudik ke Medan harus ke tempat ini
Sementara di Medan, papa punya keyakinan bahwa meski tenda pinggir jalan tapi bersih dan tidak sembarangan dalam memilih bahan masakan. Termasuk sambal dan bumbu-bumbu yang digunakan.
Selain rasa mi rebus Glugur yang enaknya ampun-ampunan, ada satai kerangnya juga. Si Kawan pernah bilang, bukan durian atau makanan macam-macam yang dia cari kalau mudik ke Medan, melainkan satai kerang. Harga satai kerang di sana murah, nggak seperti di sini, yang satu tusuk bisa sampai Rp8 ribu. Sedeng.

Harga satai kerang di Medan masih jauh lebih manusiawi ketimbang di sini
Kemudian bingung mau menulis apa lagi tentang mudik ke Medan selama empat hari kemarin. Lupa bawa catatan jadinya bingung mau cerita soal apalagi. Kalian mudik juga? Mudik ke mana? Cerita dong.