Sudah mau enam tahun saya menekuni pekerjaan sebagai jurnalis media daring. Sebuah profesi yang tidak semestinya dilakoni oleh seorang anak IT. Namun, kamu perlu tahu, dulu saya pernah bercita-cita menjadi wartawan, tapi terpaksa banting setir. Saya jadi harus mendalami ilmu Teknologi Informasi (TI) di jurusan Sistem Informasi (SI) selama lima tahun.
Tidak sedikit teman-teman kuliah yang mempertanyakan pilihan jalan hidup saya ini. Masa anak IT jadi jurnalis? Menurut mereka seharusnya lulusan IT bekerja ngoprak-ngoprek jaringan bukan tulisan. Juga lebih memperdalam bahasa pemrograman bukan bahasa Indonesia. Kemudian mengartikan PHP sebagai PHP: Hypertext Prepocessor bukan pemberi harapan palsu.
Memang salah kalau saya lebih memilih berkecimpung di dunia ini? Tidak, kan? Mereka tidak tahu kalau saya sempat bekerja sesuai jurusan. Setiap hari berurusan sama coding. Hanya saja hal itu tidak berlangsung lama. Cuma dua atau tiga bulan. Alasan resign sederhana karena saya tidak betah kalau harus duduk lama-lama tanpa ada interaksi satu sama lain.
Kangen juga sebenarnya mempelajari kembali ilmu yang saya dapat di kampus dulu. Semula saya memang membenci pilihan tersebut tapi lambat laun saya menikmatinya. Terbukti dari nilai-nilai yang saya peroleh, tidak ada yang harus saya ulang di setiap semesternya.
Sempat ada keinginan untuk balik menekuni profesi yang anak IT banget. Namun, lebih baik saya pendam hasrat tersebut, fokus sama yang sudah saya raih sekarang. Lelah rasanya harus memulainya dari awal lagi. Meskipun sudah banyak tutorial yang dapat saya pelajari dari Youtube.
Kemudian keinginan itu tahu-tahu muncul lagi. Saat saya menghadiri sebuah diskusi, undangan seorang teman. Pembahasannya tentang sebuah inovasi teknologi untuk melindugi data dari serangan siber.
Ada sejumlah sosok di dalam diskusi itu yang membuat saya terkesima. Orang pertama adalah Patrick HOUYOUX. Om-om kece berkebangsaan Belgia sang pendiri PT Sydeco (sebuah perusahaan di Yogyakarta yang berfokus pada bidang keamanan internet).
Suka duka jadi anak IT
Om Patrick bercerita banyak soal kariernya. Termasuk langkah besar yang dia ambil untuk menjadikan Sydeco sebuah perusahaan yang fokus pada keamanan untuk segala aktivitas melalui internet.
PT yang berdiri pada Desember 2013 ini mula-mula berfokus pada pengembangan situs dan desain grafis. Akan tetapi Patrick menyadari bahwa zaman sudah semakin modern dan maju, kebutuhan akan hal itu semakin menipis, karena pasti banyak perusahaan yang bergerak di bidang serupa.
Cerita om Patrick ini membuat saya mengingat kembali masa-masa menjadi anak IT di semester akhir perkuliahan. Saat itu, seluruh mahasiswa tingkat akhir yang mau sidang strata satu (S1), harus melakukan Penulisan Ilmiah (PI) terlebih dahulu. PI ini setara dengan Diploma tiga (D3). Apabila selesai sidang S1 mau langsung kerja, bisa menggunakan transkip dan sertifikat PI ini. Sembari menunggu transkip keseluruhan nilai S1.

Ini lho sosok Om Patrick, Presiden Direktur PT Sydeco saat menjelaskan latar belakang perusahaan dan inovasi yang mereka temukan, termasuk Archangel dan SST yang dikembangkan anak IT dari Yogyakarta.
Judul PI yang saya ajukan ke dosen pembimbing dan akhirnya disetujui adalah Pembuatan Situs Tutorial UAN Setingkat SMA. Saya sendiri yang mendesain situsnya untuk kemudian saya kembangkan menggunakan PHP. Sulit memang tapi seru. Waktu itu rasanya bangga menjadi anak IT.
Seorang teman yang pernah mengajak saya bekerja di perusahaan pengembangan situs dan desain grafis juga pernah bercerita, perusahaannya berubah haluan, fokus pada jaringan dan LAN, tidak lama setelah dia masuk. Kalau tidak salah di kisaran tahun 2012.
Jadi, saya rasa, sudah benar langkah om Patrick untuk membawa bendera baru di kapal yang dia nakhodai. PT Sydeco pun akhirnya meluncurkan produk pertamanya, Secure System of Payment (SSP) pada 2016. Melalui sistem ini, semua transaksi mobile akan diamankan dari serangan siber dan aktivitas para hacker (peretas).
Selang dua tahun kemudian, di acara yang saya hadiri ini, om Patrick memperkenalkan dua teknologi anyar yang berfungsi melindungi data internet, yaitu Archangel dan Secure System of Tranmision (SST).
Salah satu timnya anak IT dengan IQ 150
Dua teknologi mutakhir yang bekerja secara bersamaan ini diciptakan melalui serangkaian riset mendalam, dibarengin dengan meneliti berbagai kasus pencurian dan pembobolan data yang pernah terjadi. Baik di media sosial seperti Twitter, Facebook, WhatsApp, termasuk kasus besar seperti pembobolan 4,93 juta akun Gmail, 500 juta akun Yahoo, dan 68 juta akun dropbox.
Yang paling membanggakan, saat om Patrick memperkenalkan tiga orang anak IT yang ikut terlibat di dalam pengerjaan Archangel dan SST. Bahkan salah seorang di antaranya diketahui memiliki IQ 150. Dua orang di antaranya, Rizal Hendra Wardana (si pemilik IQ 150) dan Septian Yudha Sahanaya, diberi waktu memperkenalkan bayi yang baru saja lahir dari rahim PT Sydeco.
Nah, permasalahan untuk memahami kedua teknologi itu terjadi pada sesi ini. Maklum, anak IT tidak pernah dapat mata kuliah public speaking. Omongan mereka sulit dipahami karena kagok berbicara di depan banyak orang.
Sama kayak saya. Waktu sidang PI, berhadapan sama tiga orang penguji rasanya kayak lagi nyanyi di atas panggung Indonesian Idol sambil dilihatin sama BCL yang lagi melintirin ujung rambutnya. Keringat dinginnya bukan cuma di kepala, tapi sampai ke area-area yang tidak pantas untuk saya sebutkan di sini.
Saya jadi berpikir, seharusnya anak IT itu mendapat ilmu public speaking di mata kuliah soft skill. Agar kami tahu caranya berbicara tanpa rasa grogi, dan tampil lebih percaya diri menyampaikan materi yang sudah dibuat.
Dulu ilmu yang saya dapat dari mata kuliah soft skill adalah membuat blog dan mengisinya dengan konten-konten terkait jurusan masing-masing. Itulah ikhwal saya mulai ngeblog. Kira-kira tahun 2006 apa 2007. Kalau dihitung-hitung sudah satu dekade saya meramaikan jagad dunia maya.
Terkait materi yang disampaikan dua orang anak IT kepercayaan om Patrick itu, sebenarnya bukan sesuatu yang sulit dijelaskan. Buktinya, salah seorang dari tim PR yang menangani acara tersebut, bisa menjelaskannya dengan bahasa yang mudah.
Inti dari materi yang mereka sampaikan, kurang lebih menyorot soal keunggulan masing-masing produk. Berupa kemampuannya dalam menggunakan machine learning untuk menganalisis berbagai tipe serangan yang terjadi, sekaligus menyiapkan pertahanan untuk serangan di kemudian hari.
Archangel dan SST dikerjakan anak IT dari Yogyakarta
Begitu diskusi selesai, saya yang masih penasaran proses kerja dan pembuatan Archangel dan SST ini, langsung menghadang anak IT yang memiliki IQ 150 itu.
Saya pikir, obrolan jadi sedikit mencair setelah eye to eye. Ternyata saya salah. Kaku yang Rizal tonjolkan di atas panggung masih terbawa sampai lampu sorot sudah dimatikan.
Atau jangan-jangan dia grogi? Grogi karena Rizal mengira sedang mengobrol dengan mbak-mbak cantik bak model Jakarta Fashion Week? Sebab dia menyapa saya dengan ‘mbak’, padahal pada hari itu pakaian saya dapat memantulkan aura ke-cowok-an saya.
Atau sebenarnya ada kaitannya dengan IQ setinggi itu? Biasanya orang jenius kagak pintar ngomong tapi langsung praktik. Saya jadi bingung sendiri.
Oke, lupakan soal itu, balik ke fokus awal. Mengenai IQ, Rizal tidak terlalu percaya sama hal-hal seperti ini. Bagi dia, IQ itu cuma angka, tapi tidak bagi saya.
Mama saya pasti bangga banget kalau tahu IQ anaknya ini sebesar itu. Buah hati yang di semasa kecil sering dipandang sebelah mata, kerap diejek sapi, dan jarang diajak main petak umpet karena pasti akan mudah ketahuan, ternyata memiliki kepintaran sejajar Albert Einstein, Leonardo Da Vinci, dan Newton.
“Buat saya adalah niat. IQ itu belakangan,” prinsip hidup yang Rizal terapkan selama ini.
Archangel dan SST
Menyinggung soal Archangel dan SST, Rizal yang merupakan Kepala Research & Development PT Sydeco, menekankan bahwa sang pemilik ide adalah om Patrick. Bersama Septian Yudha Sahanaya dan Bayu Kurniawan sebagai developer, ditugaskan mengembangkan dua teknologi tersebut. Setiap ada ide untuk kemajuan pembuatan teknologi ini, selalu didiskusikan bareng-bareng, baru setelah mendapat izin, langsung eksekusi.
Archangel adalah kotak pintar (smart box) yang berfungsi untuk meyaring seluruh lalu lintas data yang akan masuk ke jaringan, baik melalui kabel maupun nirkabel. “Ibarat sebuah perumahan, Archangel ini adalah satpam. Segala sesuatu yang akan masuk ke dalam komplek, akan diperiksa secara menyeluruh oleh satpam ini.”

Wujud dari Archangel dan SST yang dikembangkan anak IT Yogyakarta dari PT Sydeco milik om Patrick
Cara kerjanya, setiap data yang diperkirakan jahat, dicegah untuk masuk. Nanti machine learning yang terdapat di dalam kotak itu, akan menganalisis pola serangan yang belum pernah ada sebelumnya dan mencegah serangan tersebut sebelum masuk ke jarangan.
Soal SST, proses pengerjaannya sendiri memakan waktu satu tahun. Terhitung cepat karena untuk mengerjakannya, Rizal dibantu juga oleh tim yang solid. Sehingga proses pengerjaan berjalan lebih cepat.
Dalam proses penyempurnaan sebuah sistem keamanan data yang memiliki ‘dua agen’ cerdas’ di titik pengirim dan penerima yang berfungsi melindungi data (baik secara otomatis maupun on-demand) ini, Rizal, Septian, dan Bayu melakukan perbaikan-eror-perbaikan-eror sebanyak lebih dari 50.
Tiga Orang Anak IT Mempergunakan Dua Komputer
Dan yang menjadi ‘kelinci percobaan’ adalah dua komputer di kantornya. “Kami memasukkan banyak data, kemudian kami obrak-abrik sistem di dalamnya. Settingan salah, sistem eror. Settingan benar kemudian salah lagi, eror lagi. Begitu saja terus prosesnya selama satu tahun.”
Menurutnya, sistem ini cocok digunakan oleh mereka yang memiliki usaha online shop. Seperti diketahui bahwa salah satu akun di Instagram yang sering kena retas adalah milik mereka.
Mengapa? Agen pengirim pada SST akan mengubah data ke dalam gelombang dan warna berbeda-beda bergantung pada isi data tersebut, sementara agen penerima akan mengubah kembali data ke bentuk awal. Ketika terjadi pencegahan data, atau pengiriman data ke tujuan yang salah, data secara otomatis akan hilang.

Kasubdit 4 Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Roberto Pasaribu (paling kanan) berfoto bersama (kanan ke kiri) Presiden Direktur PT Sydeco Patrick Houyoux, Kepala Research & Development PT Sydeco Rizal Hendra Wardana, serta Septian Yudha Sahanaya dan Bayu Kurniawan sebagai developer dari Archangel dan SST berfoto bersama dengan produk Archangel dan SST.
“SST ini bisa melindungi berbagai bentuk data, termasuk percakapan telepon.”
Kalau para pengguna masih bingung, andai mengetahui sistemnya kena retas, yang membuat komputer rusak, segera hubungi Rizal. Tim akan mengirimkan data yang diretas itu.
Masih bingung juga sama penjelasan di atas? Maaf deh. Harap maklum, saya ‘kan anak IT juga. Coba cari di Google mengenai dua teknologi itu biar lebih jelas. Ok?
Tagged: Anak IT, Archangel, Derita Anak IT, Produk Karya Anak IT, PT Sydeco, Secure System of Transmision SST
Adit, saya kuliah di universitas kehidupan nggak tamat-tamat, makanya susah mau ngelamar kerjaan. Bisanya cuma ngobrol ngalor ngidul. Biar jago IT diatas itu juga pintar public speaking, kenalin sama saya, biar diajar nyerocos ngalor ngidul juga, hehehehe
Wah, kalau universitas kehidupan, saya senasib kamu, Ayah. sama-sama belajar kita
Anak IT memang pintar-pintar. Untuk dapat mengerti tentang IT, harus ada analogi yang tepat ketika menjelaskannya.
Eniwei kenapa di ekornya jadi link YT nasduk? 🙂
Bener banget, kak… Makanya, bersyukur banget ada orang PR yang mengerti hal tersebut.
Kalau itu, sekalian promosi, kak…. hehehehe
[…] Source: http://adiitoo.com/kangen-bekerja-yang-anak-it-banget/ | Adiitoo.com, 8 April 2018. […]
Benar sekali Aditya, saya tidak begitu dong membaca arah artikel Anda. Ya, maklum, saya bukan anak IT. Saya wartawan yang sangat awam dengan IT. Jika ada kesulitan dengan perangkat komputer, langsung mengundang teman IT. Akibatnya, saya selalu buta dengan teknologi informasi. Saya tak punya kemampuan tentang IT, walaupun yang paling dasar. Terima kasih ceritanya.
[…] ingat kapan terakhir kali saya berbagi keceriaan dengan anak-anak kurang beruntung. Entah itu anak yatim piatu, anak terlantar, maupun anak dengan orangtua lengkap tapi hidupnya […]